Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu baitul mal dan baitut tamwilBaitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit Sedangkan baitut tamwil sebagai usaha pengumpulan dan dan penyaluran dana komersial YANG BERSIFAT PROFIT

 

Nama resmi yang digunakan pemerintah untuk koperasi yang bergerak di bidang keuangan syariah adalah Koperasi Jasa Keuangan Syariah disingkat KJKS. Namun, istilah BMT masih populer di kalangan praktisi dan masyarakat Indonesia.

 

BMT adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil (syari’ah), menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi : Baitul Tamwil ( Bait = Rumah, at Tamwil = Pengembangan Harta), yaitu melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta), yaitu menerima titipan dana zakat, infak dan shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.


Visi BMT mengarah pada upaya untuk mewujudkan BMT menjadi lembaga yang mampu meningkatkan kualitas ibadah anggota (ibadah dalam arti yang luas), sehingga mampu berperan sebagai wakil pengabdi Allah SWT, memakmurkan kehidupan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.. Titik tekan perumusan Visi BMT adalah mewujudkan lembaga yang professional dan dapat meningkatkan kualitas ibadah. Misi BMT adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat madani yang adil berkemakmuran, serta berkeadilan berlandaskan syari’ah dan diridhoi Allah SWT. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa misi BMT bukan semata-mata mencari keuntungan dan penumpukan laba modal pada golongan orang kaya saja, tetapi lebih berorientasi pada pendistribusian laba yang merata dan adil, sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.

 

 

Secara konseptual BMT memiliki dua fungsi yaitu :

 

1. Baitul Maal (Bait = rumah, Mall = Harta) yang merupakan fungsi amal zakat yang menerima dan menyalurkan ZIS.

 

2. Baitul Tanwil (Bait = rumah, Tanwil = pengembangan Harta) merupakan fungsi untuk melakukan pengembangan usaha- usaha prodiktif dan investasi dalam rangka meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendorang dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya.

 

 

 

 

Baitul mal wa tamwil adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkemgangkan bisnis usaha mikro dan  kecil dalam rangka mengangkat martabat dan serta membela kepentingan kaum fakir miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi Baitul Tamwil (Bait = Rumah, At Tamwil = Pengembangan Harta). Jadi BMT adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha proktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegitan ekonomi pengusaha bawah dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan.[2]

            Baitul mal wa tamwil atau pendanaan balai usaha mandiri terpadu adalah lembaga ekonomi atau keuangan mikro yang dioperasikan berdasarkan prinsip bagi hasil dan disebut sebagai lembaga keuangan syariah non perbankan yang sifatnya informal. Disebut informal karen alembaga ini dibentuk atau didirikan oleh kelompok swadaya masyarakat (KSM) yang berbeda dengan lembaga keuangan perbankan dan lembga keuangan formal lainnya. Sebagai lembaga keuangan ia bertugas menghimpun dana dari masyarakat (anggota BMT) dan menyalurkan dana kepada masyarakat (anggota BMT) . sebagai lembaga ekonomi ia juaga berhak melakukan kegiatan ekonomi, seperti perdagangan, industri, dan pertanian.

Dengan begitu, BMT dikelola secara profesional sehingga mencapai tingkat efiiensi ekonomi tertentu, demi mewujudkan kesejahteraan anggota, seiiring penguatan kelembagaan BMT itu sendiri. Pada sudut pandang sosial, BMT (dalam hal ini baitul mal) berorientasi pada peningkatan kehidupan anggota yang tidak mungkin dijangkau dengan prinsip bisnis. Stimulan melalui dana ZIS akan mengarahkan anggota untuk mengembangkan usahanya, untuk pada akhirnya mampu mengembangkan dana bisnis.[3]

B.     Sejarah dan Perkembangan BMT di Indonesia

 

Sejarah BMT ada di Indonesia, dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa ITB di Masjid Salman yang mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syari’ah bagi usaha kecil. Kemudian BMT lebih di berdayakan oleh ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) sebagai sebuah gerakan yang secara operasional ditindaklanjuti oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK).

BMT membuka kerjasama dengan lembaga pemberi pinjaman dan peminjam bisnis skala kecil dengan berpegang pada prinsip dasar tata ekonomi dalam agama Islam yakni saling rela, percaya dan tanggung jawab, serta terutama sistem bagi hasilnya. BMT terus berkembang. BMT akan terus berproses dan berupaya mencari trobosan baru untuk memajukan perekonomian masyarakat, karena masalah muammalat memang berkembang dari waktu ke waktu. BMT begitu marak belakangan ini seiring dengan upaya umat untuk kembali berekonomi sesuai syariah dan berkontribusi menanggulangi krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Karena prinsip penentuan suka rela yang tak memberatkan, kehadiran BMT menjadi angin segar bagi para nasabahnya. Itu terlihat dari operasinya yang semula hanya terbatas di lingkungannya, kemudian menyebar ke daerah lainnya. Dari semua ini, jumlah BMT pada tahun 2003 ditaksir 3000-an tersebar di Indonesia, dan tidak menutup kemungkinan pertumbuhan BMT pun akan semakin meningkat seiring bertambahnya kepercayaan masyarakat.

Seperti halnya lembaga keuangan syariah yang lainnya BMT dala kegiatan operasionalnya menggunakan 3 prinsip, yaitu:

1.      Prinsip bagi hasil

a)      Mudharabah

b)      Musyarakah

c)      Muzara’ah

d)     Musaqah

2.      Jual beli dengan margin (keuntungan);

a)      Murabahah

b)      Ba’i As-Salam

c)      Ba’i Al-Istisna

3.      Sistem profit lainnya;

Kegiatan operasional dalam menghimpun dana dari masyarakat dapat berbentuk giro wadi’ah, tabungan mudharabah, Deposito investasi mudharabah, Tabungan haji, Tabungan Qurban.

Baitul Mal Wa Tamwil  suatu lembaga keuangan mikro syariah yang digerakan awal tahun sembilan puluhan oleh para aktivis muslim yang resah melihat keberpihakan ekoonomi negara yang tidak berpihak  kepada elaku ekonomi kecil dan menengah.[4]

 

C.    Dampak Perkembangan dan Pertumbuhan BMT di Indonesia

  1. Membangkitkan usaha mikro di kalangan masyarakat menengah ke bawah.
  2. Membantu masyarakat dalam hal simpan pinjam.
  3. Meningkatkan taraf hidup melalui mekanisme kerja sama ekonomi dan bisnis
  4. Dengan adanya BMT maka tidak terjadi penimbunan uang karena uang terus berputar
  5. Memperluas lapangan pekerjaan khususnya didalam sector riil.

D.    Kendala

  1. BMT masih kurang di kenal oleh masyarakat luas, sehingga jumlah nasabahnya pun tidak terlalu banyak
  2. Kurang promosi terhadap lembaga itu sendiri, maka Kepercayaan masyarakat terhadap BMT masih kurang
  3. Mayoritas orang – orang kota mempunyai rasa gengsi untuk menabung dalam jumlah kecil
  4. minimnya modal yang dimiliki oleh lembaga BMT.[5]

E.     Peghimpunan dan Penyaluran Dana BMT

1.      Penghimpunan dana

Penghimpunan dana BMT diperoleh melalui simpanan, yaitu dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada BMT untuk disalurkan kesektor produktif dalam bentukk pembiayaan. Simpanan ini dapat berbentuk tabungan wadi’ah, simpanan mdharabah jangka pendek dan jangka panjang.

 

2.      Penyaluran dana

Penyaluran dana BMT kepada nasabah terdiri atas dua jenis:

a)      Pembiayaan dengan sistem bagi hasil

b)      Jual beli dengan pembayaran ditangguhkan 

Pembiayaan merupakan penyaluran dana BMT kepada pihak ketiga berdasarkan kesepakatan pembiayaaan antara BMT dengan pihak lain dengan jangka waktu tertentu dan nisbah bagi hasil yang disepakati.

            Pembiayaan dibedakan menjadi pembiayaan musharabah dan musyarakah. Penyaluran dana dalam bentuk jual beli dengan pembayaran ditangguhkan adalah penjualan barang dari BMT kepada nasabah, dengan harga ditetapkan sebesar biaya perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati untuk keuntungan BMT. [6]

 

F.     Problematika BMT

Dengan segala kekurangan, kelebihan, keunggulan dari BMT, problematika tetap saja ada, antara lain :

1.      Modal

Modal yang relatif kecil menjadi permasalahan yang setiap saat ada pada BMT. Didukung dengan perputaran modal yang belum tentu kembali 100 % untuk BMT. Diperlukan adanya suntikan dana yang cukup baik dari pemerintah atau pihak-pihak yang tertarik untuk berinvestasi di BMT.

2.      Kredit Macet

Lambatnya angsuran yang diterima oleh BMT menjadi alasan yang klasik bagi BMT. Persoalan ini sudah menjadi santapan tiap terjadi akad-akad pembiayaan walaupun tidak semua peminjam selalu bermasalah.

3.      Likuiditas

Dengan modal yang relatif kecil dan diharuskan terjadi perputaran untuk memperoleh laba, di samping dana pihak ketiga juga ikut diputar agar dana yang disimpan memperoleh bagi hasil, maka BMT akan mengalami permasalahan likuiditas jika tidak dapat memenuhi permintaan uang oleh nasabah.

4.      Pangsa Pasar

Pasar yang digarap oleh BMT (Dana Mentari) adalah terbatas lingkup kabupaten, sehingga jika diambil sebuah analisis, di kabupaten Banyumas tidak terdapat industri-industri yang besar sehingga kurang mendukung adanya BMT sebagai intermediasi. Selain itu, pangsa pasar di Purwokerto sudah terbatas karena saat ini banyak bank yang sudah masuk ke dalam kegiatan ekonomi skala kecil.[7]

 

G.    Peran BMT Sebagai Lembaga Keuangan Syariah Terhadap Perekonomian Masyarakat. 

Hernandi de Soto dalam bukunya The Mystery of Capital (2001) menggambarkan betapa besarnya sektor ekonomi informal dalam memainkan perannya dalam aktivitas ekonomi di negara berkembang. Ia juga mensinyalir keterpurukan ekonomi di negara berkembang disebabkan ketidakmampuan untuk menumbuhkan lembaga permodalan bagi masyarakatnya yang mayoritas pengusaha kecil.

Indonesia misalnya, adalah negara berkembang yang jumlah pengusaha kecilnya mencapai 39.04 juta jiwa. Namun para pengusaha kecil tersebut tidak memiliki akses yang signifikan ke lembaga perbankan, sebagai lembaga permodalan. Lembaga-lembaga perbankan belum bisa menjangkau kebutuhan para pengusaha kecil, terutama di daerah dan pedesaan.

Belum adanya lembaga keuangan yang menjangkau daerah perdesaan (sektor pertanian dan sektor informal) secara memadai yang mampu memberikan alternatif pelayanan (produk jasa) simpan-pinjam yang kompatibel dengan kondisi sosial kultural serta ‘kebutuhan’ ekonomi masyarakat desa menyebabkan konsep BMT (Baitul Mal wat Tamwil) dapat ‘dihadirkan’ di daerah  kabupaten kota dan bahkan di kecamatan dan perdesaan.

Konsep BMT sebagai lembaga keuangan mikro syari’ah,  merupakan konsep pengelolaan dana (simpan-pinjam) di tingkat komunitas yang sebenarnya searah dengan konsep otonomi daerah yang bertumpu pada pengelolaan sumber daya di tingkat pemerintahan (administrasi) terendah yaitu desa.

Mengutip formulasi Bambang Ismawan (1994) tentang lembaga  keuangan mikro, maka  setidaknya terdapat beberapa hal yang diperankan BMT dalam otonomi daerah :

 

1.      Mendukung pemerataan pertumbuhan

Pelayanan BMT secara luas dan efektif sehingga akan terlayani berbagai kelompok usaha mikro. Perkembangan usaha mikro yang kemudian berubah menjadi usaha kecil, hal ini akan memfasilitasi pemerataan pertumbuhan.

2.      Mengatasi kesenjangan kota dan desa

Akibat jangkauan BMT yang luas, bisa meliputi desa dan kota, hal ini merupakan terobosan pembangunan. Harus diakui, pembangunan selama ini acap kali kurang adil pada masyarakat desa, sebab lebih condong mengembangkan kota. Salah satu indikatornya adalah dari derasnya arus urbanisasi dan pesatnya perkembangan keuangan mikro yang berkemampuan menjangkau desa, tentu saja akan mengurangi kesenjangan desa dan kota.

 

3.      Mengatasi kesenjangan usaha besar dan usaha kecil

Sektor yang selama ini mendapat akses dan kemudahan dalam mengembangkan diri adalah usaha besar, akibatnya timbul jurang yang lebar antara perkembangan usaha besar dan semakin tak terkejar oleh usaha kecil. Dengan dukungan pembiayaan usaha kecil, tentunya hal ini akan mengurangi kesenjangan yang terjadi.

 

4.      Mengurangi capital outflow

Perkembangan kota-kota besar yang sedemikian pesat, semakin meninggalkan pertumbuhan daerah-daerah pedesan. Lembaga keuangan mikro syari’ah BMT lebih berkemampuan memfasilitasi agar tabungan dari masyarakat desa atau daerah terkait, dapat memanfaatkan kembali tabungan yang telah mereka kumpulkan.

 

5.      Meningkatkan kemandirian daerah

Dengan adanya faktor-faktor produksi (capital, tanah, SDM) yang merupakan kekuatan dimiliki oleh daerah, dimanfaatkan dan didayagunakan sepenuhnya untuk memanfaatkan berbagai peluang yang ada, maka ketergantungan terhadap investasi dari luar daerah (maupun luar negeri) akan terkurangi, serta investasi ekonomi rakyat, dapat berkembang pesat.

Adanya pemerataan pertumbuhan, terjadinya keseimbangan pertumbuhan kota dan desa, berkurangnya kesenjangan usaha besar-usaha kecil, tentunya hal ini akan mengurangi kemungkinan ketidakstabilan daerah. Kecemburuan sosial dengan sendirinya akan terkurangi, sebab adanya kesejahteraan yang merata akan menimbulkan multiplier effect maupun interdependensi antar satu bagian dengan bagian yang lain.

 

Era otonomi daerah merupakan peluang untuk memberdayakan ekonomi rakyat dengan memanfaatkan lembaga keuangan mikro syariah BMT. Melalui keuangan mikro syariah, kebangkitan ekonomi rakyat (sekaligus ekonomi nasional) maupun pengurangan kemiskinan, akan dilakukan oleh rakyat sendiri. Memang telah tiba saatnya, masyarakat menemukan jalannya sendiri untuk mengatasi persoalan yang mereka hadapi.[8]